ACFA: Taiwan perlu tingkatkan pendidikan berperspektif migran
07/11/2024 19:43(Diperbaharui 07/11/2024 20:27)
Taipei, 7 Nov. (CNA) Asia Citizen Future Association (ACFA) menilai Taiwan perlu memperkuat pendidikan dengan perspektif migran untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif, terutama sebagai ruang aman bagi pejuang hak asasi manusia, seperti yang diupayakan ACFA.
“Hal ini menjadi isu utama di Taiwan saat ini. Banyak undang-undang yang perlu diubah dan dibuat. Selain itu, Taiwan perlu meningkatkan pendidikan dengan perspektif imigrasi dan multikultural serta hak asasi manusia,” kata Lin.
Dalam sebuah laporan ACFA, disebutkan bahwa sebelumnya Hong Kong dan Bangkok berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi pembela hak asasi manusia yang mendapat tekanan dari tiran di negara masing-masing. Namun belakangan, seiring konstelasi politik yang berubah, ruang sipil yang aman di dua kota ini pun mengalami pergeseran.
Lin mengatakan, pada dasarnya kedua negara tersebut dianggap sebagai ruang sipil yang aman karena dianggap sangat internasional dengan menyambut orang asing dengan berbagai kebijakan dan langkah. Mereka bahkan memiliki kebijakan visa yang relatif terbuka.
Kadang-kadang negara-negara tersebut bahkan memberikan subsidi kepada organisasi untuk mengadakan pameran dan forum internasional, serta memudahkan proses pendaftaran organisasi. Mereka memiliki ambang batas yang relatif rendah untuk mendirikan status hukum, baik untuk memulai bisnis maupun lembaga nirlaba, kata Lin.
Sementara Taiwan, meski berpotensial karena negaranya yang sangat demokratis, belum ada kelonggaran-kelonggaran seperti ini, kata Lin.
“ACFA akan terus menyelenggarakan forum tahunan Asia Citizen Future Week (ACFW) untuk mempertemukan para pemangku kepentingan guna berdiskusi dan merumuskan strategi serta rencana kolektif. Kami berharap lebih banyak ide dan rencana dapat dikembangkan dan diciptakan di sini,” kata Lin.
ACFA berpandangan bahwa koneksi dan jaringan antara masyarakat sipil dan organisasi adalah kunci untuk mengumpulkan informasi dan mengidentifikasi isu, situasi, tren, dan bahkan kasus atau aplikasi individu.
Selain itu membangun kerangka kerja, badan, atau mekanisme khusus dan memiliki anggaran yang sesuai untuk keberlanjutan operasional juga sangat penting.
Kendati demikian, Lin tak menampik dibutuhkan waktu lebih lama untuk membangun kemitraan yang mendalam.
“Sejauh ini, kami telah belajar dan melihat bahwa ada tren penutupan ruang sipil di kawasan dan kebutuhan akan ruang untuk relokasi sementara bagi hak asasi manusia sangat mendesak. Taiwan berpotensi dan diharapkan dapat memainkan peran ini. Ini adalah pemahaman dan permintaan umum yang kami lihat saat ini. Hal ini telah dibicarakan selama bertahun-tahun, tetapi baru-baru ini, karena geopolitik dan situasi ruang sipil di Asia Tenggara yang semakin memburuk, gagasan ini dibahas lebih dari sebelumnya,” kata Lin.
Sebelumnya Fatia Maulidiyanti, direktur International Federation for Human Rights mengatakan Taiwan perlu membangun akses yang lebih inklusif terutama dalam mengatasi hambatan bahasa dan membuat jejaring yang kokoh dengan kelompok-kelompok lokal, jika hendak menjadi ruang aman bagi pembela HAM terutama di Asia.
Hal ini disampaikan dalam forum Asia Citizen Future Week 2024 di Taipei, Jumat (31/10). Forum yang digelar oleh ACFA ini digagas di antaranya untuk menyikapi terancamnya ruang sipil di beberapa negara Asia terutama Asia Tenggara seiring konstelasi politik yang berubah.
Menurut Fatia hal jangka panjang yang juga perlu dipikirkan adalah regulasi yang progresif dalam mengakui status pejuang HAM itu sendiri. “Kita perlu regulasi yang pasti dan tidak hanya mengambil celah dari payung hukum untuk migrasi dan pengungsi,” kata Fatia yang tak menampik potensi Taiwan sebagai salah satu ruang aman bagi pejuang HAM untuk kawasan Asia.
(Oleh Muhammad Irfan)
Selesai/JA